SECANGKIR VIETNAM DRIP DI PENGUJUNG FEBRUARI
SECANGKIR VIETNAM DRIP
DI PENGUJUNG FEBRUARI
Oleh: Sahabati Nur Alifah
“Memangnya segala sesuatu harus ada
filosofinya? Hidupmu itu terlalu serius.. nikmati saja kopimu sebelum ia dingin
karena hujan.”
Hari ini aku berkenalan dengan
barista bernama Weda, di sebuah kedai kopi berjudul “Loepa Kopi”. Aku banyak
bertanya perihal judul kedai, bahkan sebelum kami tahu nama satu sama lain.
Butir kopi dibeberapa toples kecil yang diberi tag: mandailing, toraja, bali
kintamani, Aceh gayo, dan beberapa jenis kopi lain yang bagiku mereka adalah
sederet nama kopi yang tidak asing lagi memiliki satu karakter: asam. Yang kucari tidak ada: Wamena. Akhirnya Weda
merekomendasikan Vietnam dengan drip proses. “sesekali coba yang beda, mbak”
katanya. Bolehlah.. benar juga, belakangan hidupku selalu sama.
Awalnya aku hanya ingin membuang
rinduku kepada seseorang. Tapi bukan kopi namanya jika tidak bisa membuat
suasana berbeda. Rinduku, teralihkan. Ya, kopi racikan Weda terasa pas dari
segala sudut pandang. Dan baru kali ini aku menikmati kopi se-puitis Vietnam
drip. Untuk beberapa hal, aku adalah tipe orang yang sulit mencoba yang lain
jika sudah nyaman dengan satu. Tapi sore ini aku benar-benar dibuat berantakan
oleh Weda, sosok yang baru beberapa menit lalu ku tau namanya itu. Aku bertanya
kenapa harus “Loepa Kopi”, kenapa konsep dekornya begini, kenapa ada ‘mahluk’
bernama geplak disajikan dengan kopi, dan kenapa kenapa lainnya yang membuntut
hampir sulit ku akhiri. Dan dia hanya memiliki jawaban yang sangat sederhana
untuk kenapa kenapa (ku) yang banyak itu. Mungin dia pikir ‘orang ini
sepertinya lagi embuh’
“Memangnya segala sesuatu harus ada filosofinya? Hidupmu itu terlalu
serius.. nikmati saja kopimu sebelum ia dingin karena hujan.” Weda tersenyum.
Bagaimana bisa kata-katanya ‘tepat bidikkan’ begitu. Aku diam. Mataku memang
menuju lembaran buku. Tanganku sibuk mengaduk kopi. Tapi kalimatnya lah yang
paling nyata ‘mengaduk-aduk perasaanku’. Bahkan lebih mengusik daripada butir
hujan yang menghujami pelataran kedai. Benar juga. Apa hidupku seserius itu…
tapi bukankah untuk menjadi bijak kita harus berfilsafat? Secara teori
seharusnya demikian. Aku memilih diam tak meneruskan pembicaraan. Padahal di
pikiranku berusaha mencari-cari jawaban. Kernyitan di keningku tak kunjung
redam.
Komentar
Posting Komentar