NU Mensikapi Radikalisme di dalam K-13
NU Mensikapi Radikalisme
di dalam K-13
Oleh: Nur Alifah
Kurikulum 2013 atau
K-13 atau yang digadang-gadang pengganti KTSP 2006 adalah satu kebijakkan baru
dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang sejak awal diedarkan dan
diaplikasikan di beberapa sekolah di seluruh Indonesia. Hal ini memang sudah
menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Baik dari kalangan tenaga
pendidik, peserta didik, maupun dari tokoh masyarakat di Indonesia. Kurikulum
2013 diresmikan oleh Muhammad Nuh pada 15 Juli 2013 di SMA N 1 Kabupaten
Bantul. Terlepas dari tujuan kurikulum ini yakni untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga Negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (TEMPO,
Senin 15 Juli 2013), tentu saja sebagai satu kebijakkan baru tetap perlu
dikontrol, dikoreksi kembali apakah sudah sesuai dengan kebutuhan peserta
didik, apakah buku-buku panduan terutama perihal pendidikan keagamaan sudah
layak diedarkan atau perlu digodog lagi.
Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY dalam kajian rutin ASWAJA dan Sarasehan 05 April
2015 lalu yang digelar di gedung PWNU mengangkat satu tema menarik yaitu
“Mensikapi Buku Ajar Bermuatan Radikalisme” yang dihadiri oleh Sekjen
Kemendikbud, Kadisdikpora DIY dan Kakanwil Kemenag, serta KH. Thaha Abdurrahman
ketua Mursyid Thariqah DIY. Dalam sarasehan yang juga dihadiri oleh berbagai
organisasi dikalangan NU seperti IPNU, IPPNU, PMII, Ansor, dan lainnya, ditunjukkan satu buku panduan ajar PAI kelas
XI sekolah menengah atas pada halaman 170 dimunculkan tokoh-tokoh pembaharu
islam salah satunya seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengatakan beberapa
poin perihal ketauhidan seperti redaksi; yang boleh disembah hanya Allah SWT
dan yang menyembah selain Allah boleh dibunuh; menyebut nama Waliyullah, Nabi
dan Malaikat sebagai perantara doa adalah perbuatan syirik; dan masih ada
beberapa poin yang beraroma serupa. Jika maksud dari buku tersebut untuk
memunculkan tokoh modern Islam mengapa harus Muhammad bin Abdul Wahab, mengapa
tidak semisal Jalaludin Al Afghani, Muhammad Abduh mereka tokoh pembaharu dalam
hal dakwah, tokoh pembaharu di bidang politik seperti Sayyid Ahmad Khan, atau
pembaharu di bidang pendidikan Ahmad Dahlan, serta di bidang kepesantrenan
Hasyim Asy’ari. Selain paham yang dibawa bernuansa moderat artinya tidak
ekstrim kanan ataupun kiri, para ulama tersebut juga sebagian besar dari
kalangan negara sendiri.
Kemudian hasil daripada
diskusi besar diatas adalah beberapa poin diantaranya:
1. Organisasi
NU sepakat jika buku panduan ajar tentang Pendidikan Agama Islam tersebut
ditarik/dihentikan dari peredaran, dan bila perlu dimusnahkan.
2. Sudah
saatnya orang-orang dikalangan NU berani maju dan berada didepan ikut berkiprah
terutama dalam hal pemerintahan.
3. Mengajukan
proposal kepada kementrian pendidikan terkait permintaan penghentian buku-buku
panduan ajar yang mengandung unsur radikal tersebut, dan menyatakan bahwa NU
siap bersedia menyusun buku-buku mata pelajaran agama mulai dari sekolah dasar
sampai dengan sekolah menengah atas. Hal ini mempertimbangkan bahwa organisasi
NU di Yogyakarta sebenarnya memiliki SDM yang potensial untuk menyusun dan
menulis buku panduan ajar PAI, dan dibutuhkan dukungan yang besar dari
organisasi NU yang notabene adalah sebuah ormas yang menjadi mayoritas di
Indonesia, dan sesuatu yang potensial itu akan sangat disayangkan jika tidak
diolah dengan sebaik mungkin.
Ada
beberapa kegelisahan baru terkait pembahaan diatas; Kemendikbud dalam menyusun
sebuah kebijakkan baru yaitu K-13 terkesan buru-buru dan kurang maksimal dalam
melibatkan pihak-pihak seperti tokoh-tokoh keagamaan yang disitu fungsinya
sebagai peng-filter bahan-bahan yang akan diajarkan kepada peserta
didik. Sehingga pada hari ini terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terutama
yang mengancam nilai tauhid dan syariat, hal demikian otomatis akan berdampak
buruk terhadap generasi islam yang seharusnya menebar nilai islam sebagai rahmatan
lil alamin.
Kemudian
jika diamati Islam pada hari ini sedang berada dalam kondisi yang cukup
memperihatinkan. Mulai dari adanya berbagai aliran radikal seperti ISIS,
kemudian diblokirnya beberapa situs Islam yang dianggap radikal, terkesan
membungkam dan membatasi media dakwah islam, padahal di era dewasa ini akses
internet lebih banyak diminati daripada majelis-majelis sosial seperti kajian
ilmu atau diskusi-diskusi terutama bagi kawula remaja kalangan sekolah dasar
sampai sekolah menengah atas. Tidak
dapat dipungkiri perkembangan teknologi modern tersebut sangat sulit dihindari.
Maka jalan dakwah melalui internet diharapkan mampu diakses secara praktis oleh
pengguna internet kapanpun dan dimanapun. Secara otomatis hal itu memudahkan
syiar islam. Pemblokiran situs islam tersebut secara langsung ataupun tidak, mengundang
kontroversi dari kalangan organisasi Islam di Indonesia yang lagi-lagi
menimbulkan gesekan baru dan memicu perpecahan dikalangan umat.
Maka
bagi generasi muda Nahdliyin semua hal diatas adalah sebuah pelajaran sekaligus
“PR” yang harus dipersiapkan sedini mungkin, baik secara spiritual,
intelektual, dan secara mental kepemimpinannya untuk tampil di depan dan
mengibarkan bendera moderatisme Aswaja serta melestarikan Islam yang menebarkan
kasih sayang bagi seluruh alam. Jika sejak berdirinya NKRI saja sudah ikut
andil dalam mencapai kemerdekaan, maka sampai hari ini dan sampai kapanpun
berjuang untuk kedamaian negara adalah hal yang semestinya menjadi satu
tanggung jawab turun temurun yang harus ditanamkan sejak dini.
Komentar
Posting Komentar