MINUM DAN KEBERMINUMAN




MINUM DAN KEBERMINUMAN
Oleh: Nur Alifah

“…minumlah dengan seksama atau dirimu akan terminum. Sebab hidup selalu menyimpan haus yang lebih dari sekedar rasa ingin menuntaskan dahaga…”
Demikian kalimat yang paling saya ingat dari sebuah buku lawas yang saya beli hanya dengan harga lima ribu rupiah saja. Buku sederhana mengemas filosofi kehidupan dari sudut pandang aktivitas sesederhana ‘minum’. Namun kali ini bukan perihal buku tersebut yang akan saya bicarakan disini, akan tetapi tentang betapa manusia itu hidup sebagai ‘peminum yang rumit’.

Hidup memang tidak bermula dari minum. Namun sulit dibayangkan jika manusia hidup tanpa minum. Kering dan gersang. Setiap yang hidup- tanpa terkecuali selalu terikat dengan minum, meski kebutuhan minum dengan kadar yang relatif  berbeda. Untuk soal minum, manusia memang tak berbeda dengan binatang atau tumbuhan. Konon manusia dewasa selalu butuh minum air putih sekurangnya 1600 cc atau sekitar 8 gelas dalam sehari, dengan begitu metabolisme tubuh mampu bekerja secara normal. Begitulah hidup bagi siapapun tidak lain adalah minum.

Disini minum bagi manusia memiliki makna yang jauh lebih kompleks ketimbang bagi tumbuhan atau binatang. Bagi manusia, terkadang minum bukan kebutuhan hidup yang lahir sebab tubuh yang kehausan, sebaliknya justru untuk kesenangan. Minum bagi manusia tidak pernah terduga. Pada suatu ketika, manusia akan minum ketika ia haus, kemudian disaat yang lain manusia minum tanpa alasan, kecuali untuk bersenang-senang, tapi ada juga mereka yang minum tanpa pilihan. Seperti halnya cerita Socrates di akhir hidupnya dengan tetap bersikap teguh saat menerima keputusan senat Athena untuk meminum racun. Konon dalam kisahnya, petugas penjara yang menyerahkan racun pada Socrates tak kuasa menahan air mata, bahkan menangis tersedu-sedu. Sementara Plato dan teman-temannya meratapi peristiwa itu dengan sedih.

Menurut Plato, Socrates sebenarnya memiliki pilihan untuk lari dan menolak dari hukuman tersebut, dengan cara memanfaatkan kolega-kolega yang ada. Akan tetapi Socrates tidak ingin lari sedikitpun. Ia sadar minum dalam hidup bukan sekedar mengetahui, namun juga mengalaminya secara total. Disini, Socrates mengatasi keterikatan dirinya akan rasa memiliki tubuh dan hidup. Keputusannya menjadi sangat tepat, sebab jika ia lari maka semua hal yang ia yakini tidak akan memiliki nilai dan makna apapun, selain sebuah wacana. (Sumirat Lohjati; Sejarah Minuman dan Keberminuman). Kisah tersebut telah menjadi contoh bahwa minum terkadang bukan pekerjaan sederhana, karena keberminuman diri tidak sekedar membutuhkan nalar, akan tetapi laku hidup yang total dan sepenuhnya.

Hidup selalu menyimpan rasa haus yang lebih dari sekedar ingin menuntaskan dahaga. Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia.

Demikian pekerjaan sesederhana minum menjadi sesuatu yang rumit apabila dikaitkan dengan keinginan atau kebutuhan manusia. Dalam tradisi Jawa terdapat ungkapan yang sangat menawan: “urip pancen kudu ngombe
Ananging ngombe sakjroning urip ora keno nganggo wathon
Amarga sejatining urip iku bebasane mung koyo mampir ngombe..” (M. Hariwijaya; Semiotika Jawa)
Hidup memang harus minum, akan tetapi minum dalam hidup tidak boleh dilakukan secara asal dan membabi buta. Sebab hidup sesungguhnya tak ubahnya seperti orang mampir minum. Disini, minum disadari sebagai hidup yang selalu fana. Oleh karena itu seharusnya keberminuman dalam hidup dilakukan dengan kehati-hatian. Keberminuman tubuh akan dipenuhi dengan air, keberminuman diri adalah dengan ilmu.

Komentar

Postingan Populer