Kisah Agama



Kisah Agama
Oleh: Nur Alifah

Manusia adalah mahluk yang lemah walaupun Tuhan menyempurnakan mereka dengan segala kekuatan, potensi, nurani dan sesuatu istimewa yang bernama akal. Manusia menggunakan akal, pengalaman, dan kemampuan bawaannya untuk merefleksikan segala sesuatu yang mereka temukan di dalam kehidupan. Mereka memberi nama kepada benda-benda, menciptakan sejarah, berimajinasi, berbahasa, berinteraksi, dan mencari sesuatu diluar dirinya untuk berlindung. Tuhan dan Agama, barangkali dua hal yang telah dikenal sejak adanya manusia pertama sampai saat ini. Sejak ratusan abad yang lalu hingga sekarang tentu saja ada berbagai persepsi dan dinamika tentang Tuhan dan Agama. Agama berasal dari kata Sanskrit. Ada yang berpendapat bahwa kata itu terdiri atas dua kata, a berarti tidak dan gam berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. (Amsal Bahtiar; Filsafat Agama; 10). Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah tentang eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, bahkan dalam agama tertentu sikap keberagamaan seseorang juga semestinya terejawantahkan dalam relasi antar sesama manusia dan antara manusia dengan alam.
Namun ada pula yang membatasi pengertian agama pada agama-agama samawi yang diterima manusia melalui wahyu yang dibawa oleh para rasul Allah. Jika hendak mencari definisi agama yang sesuai dengan batasan tersebut, dalam salah satu kamus Arab disebutkan: “Agama adalah satu bentuk ketetapan Ilahi yang mengarahkan manusia– dengan pilihan mereka sendiri terhadap ketetapan ilahi tersebut- kepada kebaikan hidup dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat (Fuad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat; 27). Di bagian pendahuluan dalam Agama-agama Manusia; agama merupakan masalah makna. Suatu ulasan dapat saja berbicara tanpa henti-hentinya mengenai para dewa, ritus, dan kepercayaan, tetapi kecuali jika ulasan itu membimbing kita untuk memperlihatkan bagaimana hal-hal itu membantu manusia untuk menghadapi masalah seperti kesendirian, tragedi, dan kematian, ulasan itu mungkin saja akurat, tetapi agama sama sekali tidak disentuhnya. (Huston Smith, Agama-agama Manusia; 14). Agama menjadi satu kata yang sulit untuk didefinisikan atau dideskripsikan dengan pasti. Hampir tidak ada satu kesepakatan terkait definisi agama yang menyatakan bahwa agama adalah ‘A’ atau agama merupakan ‘B’, artinya setiap orang memiliki definisi agama dengan versinya masing-masing.
August Comte membagi perkembangan manusia pada tiga tahap, yaitu tahap teologi, metafisik dan positivisme. Ada dua teori tentang perkembangan kepercayaan manusia. Yang pertama, teori ini dikemukakan oleh E.B Taylor; bahwasanya kepercayaan manusia berawal dari bentuk yang lebih rendah menuju ke sesuatu yang lebih tinggi dan sempurna. Menurutnya sistem kepercayaan manusia yang paling primitif adalah dinamisme dan yang paling tinggi adalah monoteisme. Kemudian teori yang kedua berpendapat bahwa kepercayaan manusia yang pertama adalah monoteisme murni, tetapi karena perjalanan hidup manusia yang berkembang, maka kepercayaan tersebut menjadi kabur dan dimasuki oleh kepercayaan animisme dan politeisme. Pada akhirnya tidak terdapat lagi kepercayaan kepada Tuhan yang Esa. Sebagai teori, keduanya tentu saja memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, bahkan dapat dipatahkan oleh teori lain yang baru, jika dianggap tidak relevan dan tidak terbukti kebenarannya secara umum.
Berbicara perihal sejarah agama, mau tidak mau, sesuatu seperti animisme, politeisme, adalah sebuah fenomena kepercayaan yang dialami manusia sejak zaman prasejarah. Hal itu membuktikan bahwa manusia membutuhkan kekuatan (diluar dirinya) yang Adikodrati untuk berlindung, memohon sesuatu, dan merenungkan tentang kehidupan. Bahkan di era modern yang sebagian besar manusianya “men-tuhankan” teknologi serba canggih ini, masih ada sebagian lainnya yang mempercayai atau melakukan praktek-praktek animisme dan politeisme tersebut. Manusia adalah mahluk spiritual, (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan; 20) mereka menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya seni. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan. Ya, dengan beragama, memiliki kepercayaan akan Tuhan manusia lebih tertuntun dalam mencari makna dan merenungkan segala yang terjadi di kehidupan. Seorang yang bijak pernah berkata; “hidup yang tak direfleksikan tak layak dihidupi”
Dalam agama Islam (dan telah diakui oleh berbagai kalangan) ke-Esa an Tuhan (monoteisme) adalah wujud kepercayaan tertinggi. Agama Islam adalah satu dari tiga agama terbesar di dunia selain Yahudi dan Kristen yang mengakui bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi. Akan tetapi, ada beberapa agama ‘ciptaan’ manusia yang sebagian besar sejarah/ceritanya berawal dari kisah seseorang yang tergugah jiwa spiritualnya untuk mencari kebenaran, ketenteraman jiwa, dan sesuatu yang diluar keduniawian (asketis). Kemudian hal tersebut oleh manusia lainnya di klaim bahwa seseorang itu adalah dewa atau manusia suci yang dapat dijadikan tuhan kemudian mereka menyembahnya. Dapat dilihat dari agama Taoisme, Budha dan lainnya. Padahal jika dalam agama Islam, manusia yang berada pada tingkatan tersebut baru dapat dikatakan wali, ulul albab atau nabi (untuk derajat manusia paling tinggi), bukanlah Tuhan.

Komentar

Postingan Populer